Home » » Fatwa Mui Nomor 33 Tahun 2018 Mengenai Vaksin Mr (Measles Rubella) Yang Kau Harus Tau

Fatwa Mui Nomor 33 Tahun 2018 Mengenai Vaksin Mr (Measles Rubella) Yang Kau Harus Tau

Posted by Andro Flash ROM on Thursday, August 23, 2018

 Meskipun anutan ini menyerupai mata uang dengan dua sisi Fatwa MUI nomor 33 Tahun 2018 Mengenai Vaksin MR (Measles Rubella) Yang Kamu Harus Tau
Alhamdulillaah, hasilnya anutan MUI telah keluar. Meskipun anutan ini menyerupai mata uang dengan dua sisi. Alias sanggup jadi 'senjata' provaksin, tapi sekaligus senjata antivaksin, tergantung memandang pada sisi mana. Tapi di sini bedanya. Provaksin membaca anutan secara utuh. Sementara antivaksin hanya akan mengambil anutan sepotong di belahan 'Haram'. 
Ada beberapa hal yang harus diluruskan dalam hal ini.

1. Apakah benar vaksin MR MENGANDUNG unsur babi?
Perhatikan anutan MUI tidak menyebutkan 'MENGANDUNG' tapi 'DALAM PROSESNYA MELIBATKAN UNSUR BABI'. 
Melibatkan dalam proses tidak mengakibatkan produk simpulan mengandung babi (sebagaimana hasil uji lab terlampir yang menyatakan vaksin MR tidak mengandung babi). Karena pada pembuatan vaksin juga terjadi istihalah dan juga melibatkan proses ultrapurifikasi, yaitu pembersihan milyaran kali.

Jika memang dalam proses disebutkan melibatkan unsur dari babi, dalam box vaksin biasanya akan dicantumkan sebagaimana vaksin combo yang diboxnya ditulis pada proses pembuatannya bersinggungan dengan unsur dari babi. Kemungkinan ketersinggungan ini bukan pada tripsin lantaran penggunaan DNA rekombinan, tapi pada gelatin (salah satu eksipien vaksin MR).

India sendiri lantaran lebih banyak didominasi beragama hindu, memperkenalkan UU pembantaian anti-sapi yang ketat oleh pemerintah Maharashtra dan Haryana, sehingga beberapa perusahaan farmasi di India takut mendapatkan masalah. Bahkan penyembelihan sapi sanggup diancam penjara 5-10 tahun di sana.
https://economictimes.indiatimes.com/news/politics-and-nation/gelatine-in-capsules-vitamin-drugs-manufactured-from-bones-skin-tissue-of-cattle-say-pharma-cos/articleshow/46669729.cms. Sementara gelatin pada umumnya diproduksi dari tulang sapi (bovine) atau tulang babi (porchine).

2. Lantas apa aturan gelatin/tripsin yang terbuat dari belahan babi?
Gelatin maupun tripsin yang terbuat dari belahan babi mengalami proses istihalah (transformasi) alias perubahan bentuk di mana proses hasilnya tidak lagi sama sebagaimana bentuk awalnya sehingga tidak lagi dihukumi sebagaimana babi. Sebagaimana cuka yang pembuatannya berasal dari wine (haram) dihukumi halal ketika bertransformasi secara alami sehingga karakteristiknya tidak lagi sama.

Ulama-ulama dunia sendiri mendapatkan istihalah pada penggunaan gelatin / tripsin babi pada vaksin, dan menyatakan kehalalan dzat yang telah mengalami istihalah dalam vaksin. Itulah sebabnya di negara-negara Islam yang lain, halal haram vaksin tidak seheboh di Indonesia. Ulama-ulama di negara muslim lain bahkan telah melaksanakan konferensi dengan WHO membahas dilema istihalah ini semenjak usang dari tahun 2001, sebagaimana didokumentasikan di link ini:
http://www.immunize.org/talking-about-vaccines/porcine.pdf
Konferensi ini dihadiri 112 ulama dan hebat dari banyak sekali penjuru dunia yang membahas, menyetujui kemudian menandatangi anutan HALAL-nya gelatin yang berasal dari babi pada vaksin, di antaranya:
  1. Syaikh Muhammad Sayed Tantawi (Universitas Islam Al-Azhar, Cairo)
  2. Syaikh Mohammad Al Mokhtar Al Sallami (Tunisia)
  3. Syaikh Mohammad Ibn Hammad Al Khalily (Oman)
  4. Syaikh Mohammad Al Habiib Ibn Al Khojah (Islamic Fiqh Academy, Jeddah)
  5. Dr. Yusuf Al Qaradawy (Qatar)
  6. Syaikh Mohammad Rashid Qabani (Libanon)
  7. Syaikh Muhammad Taqi Al Osmani (Pakistan)
  8. Syaikh Dr. Hamid Gami'I (Universitas Islam Al-Azhar)
  9. Syaikh Dr. Khalid Al Mazkour (Kuwait)
  10. Syaikh Khalil Al Miis (Mufti Al Biqa'i, Libanon)
  11. Syaikh Dr. Ajil Jassim Al Nashmi (Kuwait)
  12. Dr. Mohammad Abdul Ghaffar Al Sharif (Kuwait)
  13. Dr. Wahba Al Zuhayli (Syria)
  14. Syaikh Mashaal Mubarak Al Sabah (Kuwait).
  15. dan masih banyak lagi (nama terlampir di postingan)
Selain itu beberapa ulama besar Saudi, diantaranya: Syaikh Abdul Aziz alu sheikh (Mufti Arab Saudi), Syaikh Abdul Aziz ibn Baz (saat menjabat ketua Al Lajnah Ad Daimah il Ifta, ketua MUI-nya Saudi), demikian juga Syaikh Abdul Muhsin al 'Abad Al Badr (pengajar tetap Masjid Nabawi) juga putra dia dosen/guru besar di Univ. Islam Madinah, Syaikh Abdur Razzaq ibn Abdul Muhsin al 'Abad Al Badr, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid (Imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen univ. syariah, pengasuh situs www.islam-qa.com).
Demikian juga dengan Majlis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian juga memutuskan bahwa istihalah dari produk yang pada prosesnya melibatkan unsur haram kemudian pada produk hasilnya telah berubah maka hukumnya yakni halal.
https://www.e-cfr.org/23rd-ordinary-session-european-council-fatwa-research/

Sedangkan MUI sendiri tolong-menolong letak masalahnya ada pada penolakan intifa' (pemanfaatan) benda haram, sehingga ketika produk simpulan tidak terdapat zat haram lagi maka akan tetap dihukumi haram lantaran pada prosesnya melibatkan unsur haram. Padahal dalam kaidah intifa’ yang diharamkan tolong-menolong yakni pelakunya (produsen) sedangkan konsumen yang menggunakan cukup merefer pada produk jadi, alias menghukumi secara zahirnya. Jika produk simpulan tidak terdapat zat haram, maka hukumnya halal. Kaidah fiqih dalam hal ini:
"Sesuatu yang diharamkan lantaran usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh dengan berjual beli secara halal misalnya)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2, Syaikh Utsaimin)".
Namun di sinilah dilemanya, lantaran SH (sertifikat halal) tidak sekedar menawarkan jaminan produk halal bagi konsumen, tapi juga menawarkan jaminan halal pada produsen, padahal dalam hal ini SSI (India) sebagai produsen tolong-menolong sama sekali tidak butuh dijamin sebagai produsen yang memproses dengan cara yang halal, lantaran mereka non muslim.

Karena dilema inilah hasilnya vaksin difatwakan MUBAH, yang artinya boleh digunakan alias tidak mengapa. Dalam hal ini MUI menggunakan kaidah fiqh “Ad-darurah tubihu al-mahzurat” yang artinya kemudaratan mengharuskan perkara-perkara yang diharamkan, makna mengharuskan di sini membolehkan apa yang tadinya haram tidak lagi dihukumi dosa, namun justru diharuskan untuk diambil demi menghindarkan mudharat yang lebih besar (wabah). Kaidah yang digunakan dalam hal ini adalah: Idhaa ta’aarodho dhororooni daf’u akhfahuma, kalau ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan. Maka tidak salah kalau bapak sekretaris komisi anutan MUI kemudian justru mengakibatkan aturan imunisasi ini menjadi WAJIB.
Tentang darurat sendiri akan bersambung di goresan pena berikutnya. In syaa Allaah.
Kenapa bersambung? Karena kalau panjang-panjang biasanya ga dibaca!

Sumber mila anasanti


0 comments:

Post a Comment

Search This Blog

Popular Posts

Labels

.comment-content a {display: none;}