Home » , , » HUKUM MENGHINA AGAMA ISLAM DAN AGAMA LAIN

HUKUM MENGHINA AGAMA ISLAM DAN AGAMA LAIN

Posted by Andro Flash ROM on Thursday, April 5, 2018

Akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang menggugat UU Penodaan agama agar undang-undang itu dicabut. UU ini apapun isinya hanyalah produk manusia. Dari segi hukum Islam sebetulnya bagaimana kalau ada seorang Muslim menghina agamanya sendiri? Juga apakah diperbolehkan seorang Muslim menghina agama lain?

Maksud dari “Menghina” dan “Mencela”

Kata yang bermakna menghina atau mencela dalam ayat dan hadis-hadis yang bersangkutan dengan masalah ini disebutkan daam bahasa Arabnya sebagai al-istihzâ’ dan al-sabb. Kedua kata ini mengandung arti mengolok-olok, mencaci, mencela, dan menghina. Pada umumnya calaan dan hinaan ini dilakukan tidak atas dasar ilmu, melainkan didorong oleh hawa nafsu ingin merendahkan orang atau agama lain.

Namun, pencelaan yang dimaksud bukanlah suatu bentuk argumentasi yang bertujuan melemahkan hujjah non-Muslim mengenai tuhan mereka. Contohnya mematahkan (menyerang) argumentasi orang-orang Kristen yang menyatakan Nabi Isa sebagai Tuhan, Tuhan itu terdiri dari tiga oknum, dan semisalnya. Kalau kita menyampaikan argumentasi berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan, maka ini tidak termasuk mencela. Bahkan ini dianjurkan sebagai bentuk mujâdalah billati hiya ahsan (QS. Al-Ankabût: 46).

Penghinaan terhadap Islam

Penghinaan terhadap Islam objeknya adalah semua ajaran dan kepercayaan Islam seperti menghina Allah, menghina Rasul-Nya, menghina Al-Quran, menghina hadis, menghina syari‘at-Nya, menghina sahabat Rasulullah Saw., dan semisalnya. Penghinaan terhadap aspek-aspek ajaran Islam ini secara tegas dijelaskan pelarangan dan status para pelakunya. Allah Swt. berfirman:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS Al-Taubah [09]: 65-66).

Ayat ini diturunkan ketika Perang Tabuk seorang munafik menghina Al-Quran. Ia berkata, “Kami belum pernah melihat (orang-orang) semacam para ahli menbaca al-Quran kita ini, (orang-orang) yang lebih rakus terhadap makanan, lebih dusta lesannya dan lebih pengecut dalam peperangan [maksudnya Rasulullah dan para sahabat yang ahli membaca al-Qur'an].

Maka berkatalah ‘Auf bin Malik kepadanya, “Kamu telah berdusta, bahkan kamu adalah Munafik. Sesungguhnya aku akan laporkan kepada Rasulullah. Lalu pergilah Auf kepada Rasulullah. untuk memberitahukan hal tersebut kepada bellau. Tetapi dia mendapati Al-Quran telah mendahuluinya (turun kepada Nabi). Ketika orang itu datang kepada Rasulullah beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Dia berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Sebenarnya kami hanya bersenda garau sebagaimana obrolan orang-orang yang pergi jauh sebagai pengisi waktu saja dalam perjalanan kami.” Ibnu Umar berkata, “Sepertinya aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasullah sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata, “Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Lalu Rasulullah bersabda kepadanya, “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu berolok-olok?” Beliau mengucapkan itu tanpa menengok dan tidak berbicara kepadanya lebih dari itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jil VII hal. 227).

Kalau yang menjadi khitab ayat adalah orang-orang munafik, tentu secara nominal (status identitas) mereka adalah Muslim. Mereka mengaku Islam di hadapan Rasul sekalipun di dalam hatinya teresembunyi kekufuran. Kalau di dalam hatinya tidak tersimpan kekufuran tidak mungkin akan keluar kata-kata hinaan terhadap ajaran Islam.

Secara tegas ayat ini mengisyaratkan bahwa perbuatan seperti ini sangat dilarang (diharamkan) dan yang melakukannya dinyatakan “kufur” setelah mereka menyatakan beriman sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam ayat di atas. Namun, apakah kekufuran yang dinyatakan Al-Quran ini membuatnya murtad (keluar dari Islam) atau tidak?

Mengenai hal ini, pada umunya para ulama berpendapat bahwa siapa yang dengan sengaja (seirus maupun bersenda gurau) menghina Allah dan rasul-Nya, maka yang bersangkutan telah kafir dan keluar dari Islam (murtad). Hukuman baginya (dari negara Islam) sama seperti hukum orang yang murtad. Kalau yang melakukannya adalah kafir dzimmi (yang dilindungi keamanannya oleh penguasa Muslim), maka keamanannya tidak dijamin lagi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika dia (si pencela) seorang Muslim, maka telah terjadi ijma’ bahwa dia wajib dibunuh, karena dia telah menjadi kafir yang murtad disebabkan (celaan ersebut), an dia lebih buruk dari pada orang kafir (yang bukan murtad). Karena seorang kafir (yang bukan murtad) mengagungkan Rabb tetapi meyakini agama batil sebagai kebenaran, namun tidak (melakukan) pengolok-olokan terhadap Allah dan pencelaan terhadap-Nya.” (Ash-Shârim Al-Maslûl ‘alâ Sâtim Al-Rasûl, hal. 546).

Di negara yang tidak secara tegas mempraktikkan ketentuan-ketentuan hukum Islam seperti di Indonesia, hukuman di atas tentu tidak dapat diterapkan, mengingat yang harus menjalankan hukuman itu adalah negara. Walaupun demikian status kekafiran tetap tidak hilang, karena inilah yang merupakan ketentuan asalnya. Bagi yang pernah melakukannya, namun tidak dihukum secara Islam, harus bertaubat dan bersyahadat kembali karena telah dinyatakan kufur.

Penghinaan terhadap Agama Lain

Kalau menghina Islam termasuk dalam kekufuran, maka bagaimana kalau ada orang Islam menghina agama lain? Masalah ini memang kadang luput dari perhatian kita. Oleh sebab itu, masalah ini penting juga untuk diketahui.

Tindakan serupa ini sekalipun tidak mengakibatkan pelakunya menjadi kufur, namun tetap diharamkan berdasarkan firman Allah Swt. berikut ini.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Al-An‘am [06]:108)

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat merupakan larangan mutlak bagi kaum Muslim untuk mencela sesembahan-sesembahan orang kafir dan Musyrik, sekalipun kelihatannya ada manfaatnya. Sebab, kalau ini dilakukan akan ada bahaya yang lebih besar, yaitu mereka akan balik menyerang dan menjelek-jelekkan Tuhan kaum Muslim tanpa ilmu. Mereka akan memaki, menghina, dan mengeluarkan kata-kata kotor. (Tafsîr Ibn Katsîr Jil. VI hal. 132).

Pendapat ini juga diperkuat dengan hadis Rasulullah Saw. dari Ibnu Abbas, ia menceritakan bahwa pada suatu waktu orang-orang Quraisy berkata kepada Rasulullah Saw., “Wahai Muhammad, berhentilah kalian mencaci tuhan-tuhan kami, atau kami sungguh akan balik menghina Tuhan kalian.” Karena peristiwa itu kemudian Allah Swt. melarang kaum Muslim menghina tuhan-tuhan mereka dengan menurunkan ayat di atas. (Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam kitab Tafsir-nya [Jil. XII hal. 13738).

Khitab ayat di atas melarang menghina “tuhan” kaum Musyrik, namun maksudnya bukan hanya tuhan. Termasuk juga di dalamnya segala simbol agama mereka. Kalau simbol-simbol agama mereka dihina, pasti mereka pun akan balik menghina agama kita. Ini berbahaya.

Dalam fikih Islam, memang tidak ditemukan dalil mengenai hukuman apa yang patut dijatuhkan kepada umat Islam yang menghina agama lain. Oleh sebab itu, mengenai hukumannya untuk menimbulkan efek jera, diserahkan kepada kesepakatan masyarakat dan penguasa masing-masing negara. Untuk kasus Indonesia, UU Penodaan dan Penistaan Agama dapat dikategorikan ke dalamnya.


Kesimpulan:

a. Diharamkan umat Islam mencela agamanya sendiri.

b. Pelakunya sudah kafir dan dianggap keluar dari Islam (murtad). Kepadanya berlaku hukuman sebagaimana yang berlaku bagi orang yang murtas.

c. Diharamkan pula umat Islam menghina dan mencela agama lain.

d. Pelakunya jelas bukan termasuk kategori kafir, namun boleh dijatuhkan hukuman sesuai dengan berlaku di negara masing-masing untuk menimbulkan efek jera.


Abu Shofia


0 comments:

Post a Comment

Search This Blog

Popular Posts

Labels

.comment-content a {display: none;}